XI. Pak Hakim

“Gue boleh minta nomor lo?” Kata laki-laki itu lagi.

 

‘Lah, buat apaan njir?’ Killa bingung dalam hati.

 

“Buat?”

 

“Buat pdkt, boleh?”

 

Killa pun langsung dibuat tidak bisa berkata-kata mendengar jawabannya.

 

‘Lah, udah gila ya nih orang?’ Kata Killa dalam hati tidak habis pikir dengan pria itu.

 

Bisa-bisanya pria itu mengaku ingin mendekatinya di depan sahabatnya, dan lagi dia mengatakan itu di dalam angkot yang sedang melaju.

 

Killa mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, angkot yang ia naiki hari ini memang cukup sepi, hanya ada dirinya, laura, pria yang bernama Hakim dan satu temannya, dan 3 orang asing yang tidak ia kenal.

 

Saat ini, semua pandangan mata tertuju ke arahnya, seakan menunggu jawaban yang akan ia berikan kepada Hakim. Killa merasa canggung, dan malu dengan kejadian barusan.

 

“Heh, jangan ngadi-ngadi dah lo!”

 

“Gue serius.”

 

Pria itu memang terlihat serius saat ini, tidak ada sedikitpun sinar bercanda dari matanya. Pria itu hanya menatap lurus ke arahnya dengan tatapan pengharapan.

 

Killa tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Di satu sisi ia kaget dan marah, karena merasa dipermainkan dengan pengakuan tadi. Tapi di sisi lain, ia cukup merasa berdebar dengan pengakuan itu.

 

 “Bang, kiri bang!” Kata Killa memberhentikan angkot yang dinaikinya.

 

Setelah semua yang terjadi, ia merasa tidak tahan untuk tetap berada di sana. Akhirnya ia pun memutuskan untuk turun lebih awal dari angkot yang dinaikinya, meskipun kompleks perumahannya masih lumayan jauh.

 

“Ayo Ra, kita turun di sini aja.” Kata Killa kepada Laura.

 

“Loh, kan masih di depan Kil?” Tanya Laura.

 

“Udah, ada orgil di sini.” Balas Killa sebelum kemudian bergegas turun.

 

Killa turun tanpa sama sekali menatap ke arah Hakim yang sejak tadi menunggu jawaban darinya. Lagipula, ia tidak peduli dengan pria yang sudah membuatnya malu itu.

 

‘Lupain, Killa, lupain. Ga ada apapun yang terjadi 5 menit yang lalu!’ Kata Killa dalam hati menenangkan dirinya sendiri, berusaha melupakan kejadian tadi.

 

“Oh, jadi tadi Kil yang namanya Hakim?” Tanya Laura.

 

Satu kalimat yang diucapkan Laura membuat konsentrasinya langsung pecah dan membuatnya kembali mengingat Hakim beserta pengakuannya di angkot.

 

“Issh, nyebelin banget si tu orang?” Kata Killa berapi-api.

 

“Loh, kok tiba-tiba marah?” Tanya Laura, dia bingung dengan Killa yang tiba-tiba saja marah.

 

“Ya abisnya, dia nyebelin banget Ra, ngapain coba minta nomor aku? Annoying banget.” Jawab Killa sambil mencebikkan bibirnya kesal.

 

“Ya, apa salahnya si Kil? Mungkin dia cuma pengen kenal kamu lebih dekat?”

 

“Ya tapi Ra, dari semua spot-spot lain yang lebih indah dipandang, kenapa juga sih dia milih angkot?” Tanya Killa mengungkapkan argumennya.

 

“Ya mungkin baru sekarang dia bisa ketemu kamu.” Bela Laura.

 

“Apaan? Kenapa gak di kantin aja coba?” Elaknya lagi.

 

“Ya, gedung IPA sama IPS kan beda Kil.” Kata Laura mengingatkan.

 

‘Iya juga sih,’ Kata Killa dalam hati.

 

SMA Duta Besthari memang memiliki gedung yang berbeda untuk jurusan IPA dan IPS. Jurusan IPA berada di gedung A di sebelah barat, sedangkan jurusan IPS berada di gedung C di sebelah timur dan terpisahkan lapangan. Di masing-masing gedung pun sudah tersedia kantin sendiri, jadi sangat jarang anak IPS yang berada di lingkungan IPA, begitupun sebaliknya.

 

“Terus gimana?”

 

“Hah, apanya yang gimana?” Killa merasa bingung dengan pertanyaan Laura.

 

“Dia kan tertarik nih sama kamu, nah kamunya gimana?”

 

“Duh, Ra. Kamu kan tahu aku itu bucin banget sama Revanno.” Jawab Killa dengan pandangan menerawang, mengingat kembali pertemuannya dengan Revanno.

 

‘Sayang Revannonya malah suka sama Cecan, heleuh.’ Katanya dalam hati.

 

‘Lagian juga ya, Pak Hakim-Hakim ini dibanding Revanno, ya kalah jauh lah.’ Lanjutnya dalam hati dengan yakin.

 

 

***

 

 

Kini Killa sendirian di kamarnya, Laura sedang berada di kamar mandi sejak 15 menit yang lalu. Begitu sampai di rumah, Killa masih kepikiran dengan kejadian tadi. Hatinya diliputi rasa penasaran dengan pria bernama Hakim.

 

Kenapa pria itu tiba-tiba mengaku ingin melakukan pendekatan dengannya? 

 

“Namanya Hakim kan ya? Lukas Hakim.” Kata Killa dengan suara pelan.

 

‘Gue cari og-nya deh, coba kek apa sih dia.’ Lanjutnya dalam hati seraya mengambil handphonenya yang ia letakkan di dalam tas.

 

Ia pun membuka aplikasi outstagram dan mengetikkan nama pria itu di kolom pencarian. Sebenarnya Killa tidak yakin bisa menemukan akun pria itu, karena mungkin saja Hakim tidak membuat akun outstagram kan?

              

‘Ketemu!’

 

Katanya dalam hati ketika menemukan akun dengan username lukashakim yang memuat foto profil pria itu.

 

‘Yah, lumayan laah.’ Kata Killa dalam hati melihat foto-foto yang dipost di akun itu.

 

‘Eh gils, dia anak mapala? Keren ugha.’

 

‘Eh, tapi cakep juga ya dia.’

 

“Lagi ngapain Kil?” Tanya Laura yang baru saja keluar dari kamar mandi.

 

Killa pun kaget dan langsung menekan layar handphonenya asal, berusaha keluar dari aplikasi hingga tanpa sadar menekan like di postingan itu.

 

“Ini Ra, lagi buka grup chat kelas.” Jawab Killa seadanya.

 

“Oh, aku kira apaan. Kamu keliatan serius banget soalnya.”

 

“Iya.”

 

 

***

 

 

“Eh, Cecan udah dateng, gimana-“ Kata Killa saat melihat sahabatnya memasuki kelas.

 

Please gausah bahas-bahas kakel gaje itu dulu ya!” jawab Sandra yang terlihat menahan kesal.

 

Sebenarnya ia penasaran dengan kencan Sandra dengan kakak kelasnya kemarin. Mengingat bahwa kencan itu mendadak hingga membuat Sandra batal menginap di rumahnya. Maka dari itu ia langsung menyerbu Sandra dengan pertanyaan bahkan sebelum gadis itu sempat menaruh tasnya di kursi.

 

“Lah, kenapa emang?” Tanya Killa semakin penasaran.

 

‘Apa mereka berantem kemaren? Kok Sandra kelihatan kesel gitu?’ kata Killa dalam hati.

 

“Gak mood

 

“Ealah, dikira ada apa.” Jawab Killa yang sudah terbiasa dengan mood Sandra yang selalu berubah-ubah dengan cepat.

 

“Btw, lo udah ngerjain tugas fisika?” Tanya Sandra sambil duduk di kursinya.

 

“Hah, tugas fisika? Lah emang ada tugas?” Tanya killa kepada Laura yang duduk di belakangnya, seingatnya hari ini tidak ada tugas apa-apa.

 

“Ada Kil, tugas catatan. Emang kamu beloman?” jawab Laura.

 

Biasanya Killa rajin sekali kalau ada tugas mencatat, hingga Laura merasa tidak perlu mengingatkannya soal tugas fisika itu semalam karena yakin Killa sudah mengerjakannya.

 

‘Gara-gara si cowok angkot a.k.a. pak Hakim itu nih, ih sebel!’ kata Killa dalam hati.

 

Tadinya Killa memang berencana untuk mengerjakan tugas itu kemarin malam, tapi ia lupa karena terus kepikiran dengan pernyataan Hakim.

 

“Yeu, makanya dengerin. Minggu lalu Bu Hapsah ngasih tugas ngerangkum bab 5, dikumpul hari ini.”

 

“Mampus gue, banyak gak Can?” Tanya Killa panik karena merasa belum mengerjakan tugas tersebut.

 

Masalahnya adalah tugas ini dikumpulkan hari ini setelah jam istirahat. Berarti ia hanya punya waktu tiga setengah jam untuk mencatat. Itupun dia harus fokus dan melewatkan 3 jam pelajaran untuk mencatat.

 

 “Nggak.”

 

“Alhamdulillah.” Kata Killa merasa sedikit bebannya terangkat.

 

Setidaknya untuk merangkum satu bab, ia harus menulis sebanyak 3 lembar di buku catatannya. Lagipula ia heran dengan guru yang satu itu, kenapa memberikan tugas semacam itu? Padahal saat penilaian ia hanya memberikan paraf dan nilai saja tanpa melihat kelengkapan materi yang ditulis.

 

Dan juga, nilainya pasti tidak lebih dari 90, saat Sandra dan Laura bisa mendapat nilai hingga 99. Memang pilih kasih!

 

“Cuma 5 lembar aja kok.” Jawab Sandra sambil membuka tas dan mencari buku catatan fisikanya.

 

Astaghfirullahaladzim, nyebut gue.” Kata Killa kaget.

 

Ia hampir menangis membayangkan berapa huruf yang harus ia tulis. Belum lagi tulisan Sandra itu kecil jika dibandingkan dengan tulisannya, hingga 1 halaman catatan Sandra sama dengan 1 1/2 halaman tulisan Killa. Itu berarti dia harus menulis sebanyak hampir 15 halaman!

 

“Bercanda, gece salin nih.”

 

Thank you Cecan zheyenk.”

 

 

***

 

 

“Akhirnya selesai juga.” Kata Killa yang sudah menyelesaikan catatannya tepat saat bel istirahat berbunyi.

 

“Kil, tadi pagi ada yang nitipin ini buat lo. Maaf baru ngasih, soalnya dari tadi lo keliatan serius banget.” Kata Mila sambil memberikan sebuah surat kepada Killa.

 

“Dari siapa Mil?” Tanya Killa sambil mengambil surat itu.

 

Seingatnya, ia tidak pernah bertukar surat dengan siapapun, apalagi sampai memberikan surat cinta. Lalu, surat siapakah yang ada di tangannya ini? Apa pengirimnya salah orang?

 

“Gue ga tau namanya si, tapi kalo dari badgenya sih anak IPS.”

 

“Oh, gitu, makasih ya Mil.” Balas Killa sambil mengerutkan kening.

 

‘Anak IPS? Siapa?’ Tanya Killa dalam hati.

 

“Iya, sama-sama.” Kata Mila sebelum berlalu pergi.

 

“Dari siapa tuh?” Tanya yang ikut penasaran dengan pengirim surat di tangan Killa.

 

“Kata Mila dari anak IPS, jangan-jangan cowok yang di angkot kemarin Kil?” Kata Laura yang membuat Kila teringat dengan kejadian di angkot kemarin.

 

“Hah, cowok angkot? Siapa cowok ini?” Tanya Sandra yang tidak mengerti dengan pembahasan mengenai cowok angkot ini.

 

“Jadi tuh,” Akhirnya Killa pun menjelaskan semuanya kepada Sandra, termasuk kejadian di angkot kemarin dan sebelumnya.

 

“Gitu.”

 

“Jadi, Pak Hakim ini cowok yang pernah gosipin lo di angkot, terus kemarin ketemu lagi di angkot dan dia minta nomor lu buat pdkt?” Tanya Sandra setelah mengambil kesimpulan dari cerita Killa.

 

Killa pun hanya membalasnya dengan sebuah anggukan.

 

“Wow, sangat to the point ya,”

 

“Menurut lo gimana can?” Tanya Killa meminta pendapat dari Sandra.

 

“Lah hati juga hati lo, kenapa nanya ke gue coba?”

 

“Ya kasih gue saran lah,”

 

“Kalau kamu sendiri gimana Kil?” Tanya Laura membuat Killa sedikit terkejut.

 

“Apanya?”

 

“Ya perasaan kamu, waktu dia ngajak pdkt.”

 

“Ya, gitu.” Balas Killa ambigu.

 

‘Kayak ada manis-manisnya gitu.’ Jawab Killa dalam hati.

 

TBC


Komentar