X. Mikrokosmos
“Lo ngajak gue ke
mana si?” Tanya Sandra kepada pria yang sedang memboncengnya itu.
Sebelum dimulainya
pelajaran pertama hari itu, tiba-tiba saja Sandi datang ke kelas Sandra dan
memaksanya untuk pergi bersama sepulang sekolah.
“Sdah ikut aja.”
Lagi-lagi begitu jawaban yang ia berikan sejak 30 menit 22 detik lalu.
Setelah itu motor
yang mereka naiki berhenti di suatu tempat yang dipenuhi orang-orang. Banyak
orang-orang yang memenuhi tempat itu, dari anak kecil hingga orang dewasa.
Suasana ramai seketika menyambutnya yang sejak sampai tadi telah terpaku diam.
“Serius lo
ngajakin gue ke sini?” Tanya Sandra kepada Sandi tidak percaya.
Sandi hanya
mengangguk membenarkan perkataan Sandra sambil melepas helm dan turun dari
motornya. Sandra masih tidak habis pikir dengan Sandi.
“Dari sekian
banyak tempat, lo ngajak gue ke pasar malem?”
“kenapa? Kamu gak
suka?”
Sandra sungguh
tidak paham dengan cara berpikir pria itu, bisa-bisanya Sandi membawanya ke
pasar malam yang letaknya lumayan jauh dari sekolah maupun rumahnya. Apa pria
itu berpikir bahwa Sandra ini masih kecil? Apa dia pikir masa kecil Sandra
kurang bahagia?
“Ga usah
sok-sokan pake aku-kamu, geli!” kata Sandra kepada Sandi yang sedang
membantunya melepaskan helm sebelum kemudian turun dari motor pria itu
“Udah, yuk.”
Sandi menarik tangan Sandra untuk masuk ke pasar malam tersebut
“Ayo, naik itu!”
Kata Sandi bersemangat begitu mereka masuk ke dalam pasar malam tersebut.
Malam ini pasar
malam tersebut sangat ramai, mungkin karena besok adalah hari Sabtu dimana
kebanyakan siswa dan pegawai libur. Dilihatnya sekeliling, ada banyak pasangan
yang memilih menghabiskan waktunya di sini.
“Gak, lo kira gue
anak kecil apa?” Jawab Sandra begitu melihat apa yang ingin dinaiki oleh Sandi.
Sebuah komidi
putar. Ya, komidi putar.
‘Seperti
anak kecil saja.’
Kata Sandra dalam hati.
“Lebay deh, tuh
liat, banyak yang seumuran sama kita naik itu. Fine fine aja kan?” Kata Sandi sambil menunjuk orang-orang yang
berada di komidi putar itu.
Memang benar,
nyatanya di sana banyak anak-anak remaja yang menaiki kuda-kuda di komidi putar
itu. Terlihat juga bahwa mereka banyak yang bersama pasangannya.
Entah apa yang
membuat Sandra akhirnya menuruti kemauan pria itu, hingga kini Sandra duduk di
salah satu kuda di komidi putar itu. Sandra sungguh tidak berminat untuk
bermain saat ini. Bayangkan saja, UTS tinggal menghitung minggu dan banyak
sekali materi yang belum dia pelajari dan kuasai. Belum lagi tugas-tugas yang
diberikan oleh gurunya yang bukan main banyaknya itu.
Yang diinginkanya
saat ini hanya satu.
Pulang.
Wahana itu pun
mulai bergerak pelan, dapat dilihatnya Sandi yang sedang mengabadikan dirinya
yang berada di komidi putar lewat sebuah foto. Sandra hanya menatapnya bosan.
Entah mengapa Sandra merasa bahwa pria itu saja yang menikmati permainan ini.
Lalu dilihatnya
orang-orang lain, anak-anak kecil yang tertawa dengan para orang tua yang
tersenyum melihat anak mereka bahagia, ada juga anak-anak muda seumurannya yang
sedang mengabadikan momen dengan berfoto. Mereka terlihat bahagia dengan
senyuman lebar yang menghiasi bibir mereka, terlihat menikmati waktu mereka kali
ini.
Ia kembali
mengarahkan pandangannya ke depan, mengingat kapan terakhir kali ia terlihat
sebahagia itu? Sudah lama, mungkin. Saat itu, entah mengapa waktu berjalan
begitu lambat untuknya.
***
“Gak!”
“Kenapa?”
“Pokoknya gak!”
Satu-satunya yang
Sandra takuti di dunia ini selain Tuhan adalah ketinggian. Dia benci merasa
tidak berdaya saat kakinya tidak menginjak tanah.
“Takut ya?”
“Gak!”
“Bohong, pasti
takut kan?”
“Apaan sih lo?”
Saat komidi putar
sudah berhenti, mereka pun turun dan kembali menyusuri pasar malam itu hingga
Sandi mengajak Sandra untuk menaiki bianglala dengan ketinggian sekitar 20
meter di depannya. Tentu saja Sandra menolak ajakan pria itu, mengingat
ketakutannya akan ketinggian sejak kecil yang belum bisa ia toleransi hingga
detik ini.
“Yaudah deh kalo
takut, padahal kan cuma bianglala ya, apa yang harus ditakutin coba?” Kata
Sandi dengan nada menantang yang membuat Sandra geram dengan pria itu.
Bisa-bisanya pria
itu malah mengejeknya?
‘Wah,
kurang ajar emang nih cowok satu!’
Kata Sandra dalam hati jengkel setengah mati dengan pria itu.
“Apa lo bilang?”
“Ga ada.”
“Oke! Gue mau
naik!” kata Sandra sambil menahan emosi.
Dia tidak mau
terlihat lemah di hadapan pria ini. Bisa jatuh harga dirinya jika ia hanya diam
saja saat diejek Sandi. Mau tidak mau sekarang Sandra harus menahan
ketakutannya dulu untuk membungkam Sandi yang kini menatapnya dengan pandangan
meragukan.
“Yakin?” Tanya
Sandi memastikan.
“Yakin!” Jawab
Sandra.
“Oke, kita naik.”
Kata Sandi sambil memalingkan wajahnya dan tersenyum geli melihat tingkah
Sandra tadi.
‘Lucu
banget sih lo San?’
Kata Sandi dalam hati
Memang benar
dugaannya, bahwa Sandra adalah orang yang tidak suka diremehkan. Sandra akan
membuktikan bahwa dia mampu, tanpa berpikir resikonya. Saat itu, Sandra
terlihat sangat lucu di mata Sandi. Dengan wajah sinisnya yang memasang
ekspresi menantang seolah berkata ‘siapa takut?’, dan mata yang menatapnya
tajam.
Mereka pun
mengantre untuk menaiki bianglala itu. Sandra masih teguh dengan egonya untuk
tidak membiarkan Sandi merasa menang atas ketakutan yang Sandra rasakan. Saat
tiba giliran mereka untuk menaiki bianglala tersebut, Sandra masuk duluan
dengan menghentakkan kakinya di depan Sandi.
Sandi hanya
menahan senyum melihatnya, tidak mau Sandra lebih ngambek dari ini. Dia pun
masuk dan menutup gerbong bianglala itu sehingga hanya ada Sandra dan dirinya
di dalam. Bianglala pun mulai berputar dan membawa mereka semakin jauh dari
tanah.
“San, hey.”
Pnggil Sandi yang merasa Sandra terlihat gelisah dan tidak nyaman.
“Sandria, look at
me.” Panggilnya lagi saat Sandra tidak menghiraukan panggilannya.
Sejujurnya, saat
ini Sandra sangat ketakutan hingga hanya bisa memejamkan matanya. Dia tidak
berani bergerak bebas karena takut bianglala itu terjatuh jika ia bergerak
sedikit saja. Sandi yang menyadari hal itu pun langsung menggenggam tangan
Sandra dan menenangkannya.
“It’s okay. You’ll be fine.”
Sadar bahwa
Sandra tidak juga berangsur tenang, Sandi pun berinisiatif untuk mengajak
Sandra mengobrol. Tentang apapun, hanya agar fokus Sandra teralih dari jaraknya
sekarang dengan tanah di bawahnya.
“Liat deh,” Kata
Sandi menggantung untuk memicu reaksi Sandra
“Apa?” Tanya
Sandra yang penasaran.
“Ya dibuka atuh matanya, kalo merem aja mana
keliatan?” Jawab Sandi sambil tersenyum.
“Apaan si-“
Terlihat
pemandangan pasar malam yang ramai dibawahnya. Semuanya terlihat sangat kecil
hingga rasanya Sandra seperti melihat sekawanan semut. Dengan lampu yang
menerangi, membuat keseluruhan tempat ini terlihat sangat indah di tengah
gelapnya malam.
“Cantik kan?”
Tnya Sandi yang diiyakan oleh Sandra dalam hati.
“Ketinggian bikin
gue sadar kalo gue cuma manusia kecil diantara besarnya dunia.” Kata Sandi
menyenderkan lengannya ke teralis yang mengelilingi gerbong bianglala yang ia
naiki sambil melihat ke bawah.
“Lo tau
mikrokosmos?” Tanya Sandi tiba-tiba.
“Skema
neo-platonik tentang bagian terkecil dari alam semesta?” Jawab Sandra
berdasarkan apa yang pernah dibacanya pada sebuah halaman ensiklopedia.
“iya coba deh, lo
perhatiin. Dari atas sini, manusia itu kelihatan kecil banget diantara
pepohonan, rumah-rumah dan gedung-gedung disekitarnya.” Kata Sandi.
“Manusia-manusia
yang kecil itu punya ceritanya masing-masing, hingga tanpa sadar mereka
menciptakan dunia mereka sendiri yang menjadi semesta bagi manusia lain.”
Sandra hanya terus diam dan mendengar Sandi berbicara.
“Sesuatu yang
kita anggap kecil, sederhana, ternyata bisa menjadi sesuatu yang besar di mata
orang lain.” Kata Sandi yang membuat Sandra mengalihkan pandangannya kepada
pria itu.
Saat itu Sandra
mulai berpikir bahwa ya, sepertinya ketinggian tidak buruk juga.
Namun
pemikirannya itu harus dipatahkan oleh gerbong bianglala yang berhenti berputar
tepat saat mereka berada di puncak teratas. Hal itu sontak membuat Sandra takut
dan panik.
Lupakan tentang
pemikirannya tadi, ketinggian itu memang berbahaya!
“San, hey, gapapa
kok. Ini hal yang biasa.” Kata Sandi menenangkan Sandra.
“Hal yang biasa
lo bilang? Kalo sampe kita gak bisa turun? Atau tiba-tiba bianglala ini jatoh
gimana? Masih bisa bilang ini hal yang biasa?” Bisa-bisanya pria ini malah
santai disaat nyawa mereka di ujung maut.
“San, lo gak
perlu mikirin hal yang belum tentu kejadian.”
“Maksud lo?”
“Kadang, overthinking itu gak baik sandra.”
Sandra tidak
merasa overthinking, dia hanya merasa
perlu untuk memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Bukankah itu
baik? Agar dia bisa berjaga-jaga dengan apa yang akan dia hadapi nantinya.
“Apapun yang
terjadi nanti, lo harus yakin kalau itu jalan terbaik yang Tuhan kasih ke
kita.”
“Yang pasti, lo
harus tahu, gue ada di sini. Saat ini, detik ini.” Kata Sandi sambil menatap
kedua bola matanya dalam.
“Gue akan jagain
lo.”
Dan setelah Sandi
mengucapkan kalimat itu, bianglala pun mulai kembali bergerak normal. Seiring
dengan detak jantung Sandra yang semakin menggila.
***
“Eh, btw semalem
gimana Can?” Tanya Killa kepada Sandra
keesokan harinya pada saat jam istirahat.
“Ya gitu.” Jawab
Sandra singkat.
“Gitu gimana?”
“Ya ga gimana-gimana.”
Jawabnya lagi sambil memasang ekspresi menantang.
Sandra sengaja
menjawab seperti itu, agar sahabatnya itu merasa kesal mendengarnya.
“Issh, nyebelin
banget si lo! Kan gue tambah penasaran!” kata Killa merasa kesal karena
penasaran.
“Udahlah Kil,
biar itu jadi privasinya Sandra.” Kata Laura melerai kedua sahabatnya itu.
“Privisi-privisi.”
Lalu Killa pun mengalah.
“Makan apa ya
enaknya?” Tanya Laura mengalihkan perhatian mereka.
“Kayaknya batagor
enak si.” Jawab Killa.
“Tapi mie bude menggoda
njirr,” Kata Killa tak lama kemudian.
“Kan baru kemarin
kita makan mie?” Tanya Laura.
“Iya juga si,
terus apa ya?” Tanya Killa lagi yang bingung memilih menu makanan di kantin
“Gimana kal-“
Sebelum Sandra sempat menjawab pertanyaan Killa, seseorang memanggil namanya.
“Sandra, bisa
bicara sebentar?”
TBC
Komentar
Posting Komentar