VII. Squad
“Kenapa
lo Can? Sepaneng bener kayaknya?”
Kata Killa yang melihat Sandra memasuki kelas dengan wajah yang tidak karuan.
Matanya
terlihat sembab dengan kantung mata yang kehitaman. Dia terlihat sekali seperti
habis menangis semalaman. Belum lagi rambutnya yang biasanya ia sisir rapi,
kini tergerai kusut.
“Gapapa
gue.” Jawab
Sandra
“Gapapa
gimana si? Orang keliatan banget gitu si.” Jawab Killa lagi.
Dia
merasa masalah yang dihadapi sahabat-sahabatnya ini berat sekali. Belum lama
ini Laura sampai tidak pulang ke rumah karena masalah dengan orang tuanya, lalu
sekarang Sandra yang terlihat murung. Killa berharap masalah mereka berdua bisa
cepat terselesaikan dan mereka bisa kembali tenang.
“Eh
Can, lo sadar ga si? Beberapa hari ini tuh Laura murung terus.” Kata Killa
sambil menyangga dagunya.
“Terus?”
Balas Sandra.
Sandra
hanya menatap Killa dengan pandangan lurus. Sebenarnya Sandra juga menyadari
hal itu.
Sejak
malam itu, laura seakan menghindar dari keluarganya. Laura juga beberapa kali
tampak murung dan menyendiri. Namun, saat ini ia tidak bisa melakukan
apa-apa. Ia merasa tidak berhak
mencampuri urusan keluarga Laura.
“Gimana
ya Can. Gue tahu si ini masalah keluarga dia, tapi masa kita ga ngelakuin
apa-apa si?”
Killa
merasa tidak tenang jika tidak melakukan sesuatu untuk membantu Laura. Dia
tidak tahan melihat sahabatnya itu terus menerus sedih. Pasti ada satu hal yang
bisa ia lakukan saat ini.
Sandra
mengiakan hal itu dalam hati. Ia juga merasa bahwa setidaknya mereka harus
membantu Laura menyelesaikan permasalahannya. Ia mulai memikirkan hal apa yang
bisa mereka lakukan saat ini?
“Gue
ada ide.” Kata Sandra tersenyum.
***
Bel
istirahat telah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Saat ini kantin sudah dipenuhi siswa siswi
yang ingin mengisi perutnya yang kosong setelah 4 jam pelajaran ataupun mereka
yang sekadar berbincang di kantin.
“Ra,
kamu kenapa?” Tanya Rainer melihat Laura yang hanya mengaduk makanannya sejak
tadi.
Sudah
beberapa hari ini dia merasa Laura seperti ada masalah. Dari wajahnya, laura
seperti orang yang sedang banyak pikiran.
“Gapapa
kok Ray,” Jawab Laura sambil tersenyum.
Ia
merasa tidak seharusnya membebani Rainer dengan masalahnya. Pria itu juga pasti
punya masalahnya sendiri, belum lagi urusan pensi sekolah mereka yang tidak
lama lagi akan dimulai. Pasti dia sedang sibuk saat ini.
Lagipula
ini adalah masalah keluarganya. Laura pun kembali memakan makanannya dan
berpura-pura tidak ada masalah.
“Ra,
kamu bisa cerita ke aku kalau ada masalah.” Rainer merasa Laura sedang
menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi ia tidak membahasnya lebih lanjut karena
takut Laura merasa tidak nyaman.
“Iya,
aku tahu.”
***
“Aku
balik ke kelas dulu ya Ra.” Kata Rainer setelah mengantarkan Laura ke depan
pintu kelasnya.
“Iya.”
Jawab Laura.
Setelah
melihat Rainer masuk ke kelasnya, Laura kemudian masuk ke dalam kelas. Dia
melihat dua sahabatnya sedang membicarakan sesuatu yang kelihatannya serius,
sampai mereka berbisik-bisik seperti itu.
“Kalian
ngapain si?” tanta Laura.
“Ga
ngapa-ngapain kok Ra.” Jawab Sandra yang dengan cepat reda dari rasa kagetnya.
“Kok
bisik-bisik gitu si?” selidik Laura, dia
merasa sahabatnya itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
“Ya
masa ketawa doang ga boleh si?” jawab Sandra ketus untuk menutupi kegugupannya.
“Ya
tapi kan-“
“Udahlah,
kita lagi bahas drama barunya Ju Ji Hoon, Kingdom. Itu drama horror thriller gitu deh Ra, tentang zombie. Makanya kita serius banget dari
tadi.” Kata Killa menyudahi kecurigaan Laura.
Untung
dia sudah membaca artikel yang membahas tentang drama yang akan tayang tahun
depan itu.
“Oh,
gitu.”
“Ra
maaf banget ya, hari ini abis les gue pergi ke Bandung, ada acara keluarga.”
Kata Sandra setelah Laura duduk di sampingnya.
“Hari
ini aku ke rumah eyang uti aku lagi Ra.”
Kata Killa saat Laura melihat ke arahnya.
“Iya
San, Kil, gapapa kok. Lagian aku juga harus pulang kan?” kata Laura menenangkan
kedua sahabatnya itu.
Dia
sebenarnya juga merasa tidak enak kepada kedua sahabatnya itu. Dia terus
merepotkan mereka dengan terus-terusan menginap di rumah mereka.
“Yaudah,
bye.”
“Bye”
***
Laura
merasa gamang dalam perjalanan menuju rumahnya. Dia sengaja memperlambat
jalannya ke gerbang sekolah. Hari ini, dia harus pulang menyelesaikan masalah
dengan kedua orang tuanya. Tapi dia terus-terusan merasa bingung dan takut. Dia
merasa ingin melarikan diri saja.
Lalu
ada suara deru motor yang melaju dari arah belakangnya. Laura yang mendengarnya
pun langsung menyingkir memberi jalan. Namun, motor itu malah berhenti di
sampingnya. Pengendara motor itu lalu membuka helmnya, memperlihatkan seseorang
yang dikenalnya.
“Rainer?”
Rainer
pun tersenyum dan turun dari motornya. Dia lalu menghampiri Laura dan mengajak
gadis itu pergi bersamanya.
“Jalan
yuk, Ra.” Ajak Rainer.
“Tapi
a-“ Belum selesai Laura menjawab, Rainer langsung menarik tangannya dan
memakaikan helm yang tadi dipakainya ke kepala Laura.
“Udah,
naik!” Kata Rainer sambil menaiki motornya.
“Kita
mau ke mana sih Ray sebenernya?” Tanya Laura yang akhirnya menyerah dan naik ke
motor Rainer.
“Nanti
kamu juga tahu.”
Motor
pun melaju membawa mereka ke suatu tempat yang Laura tidak tahu dimana. Cuaca
hari ini sangat panas, mengingat hujan belum juga turun sejak awal bulan
kemarin.
Motor
pun berhenti di area parkir sebuah mall yang ada di Jakarta. Rainer mematikan
mesin, Laura pun turun dari motor dan menatap pria itu heran.
“Ngapain
kamu bawa aku ke sini?” tanya Laura kepada Rainer yang sedang membantunya
melepas helm.
Pria
itu tidak menjawab dan langsung menggandeng tangan Laura dan mengajaknya
memasuki mall tersebut. Mereka lalu menaiki lift menuju lantai teratas mall.
“Tadaaa.”
Kata Rainer saat mereka sudah sampai di tempat tujuannya.
“TimeArea?”
Kata Laura heran melihat tulisan arena bermain di depannya.
Rainer
hanya tersenyum dan mengangguk melihat kebingungan Laura. Dia lalu mengeluarkan
kartu arena bermain itu, dan mengajak Laura bermain sebuah permainan di sana.
Mereka
menuju ke mesin permainan Dance Dance Revolution sebuah mesin permainan dance
dengan sebuah monitor dan pijakan kaki yang dilengkapi tanda panah. Laura tidak
pernah berani memainkan permainan ini, meskipun sejak dulu ia ingin sekali
mencobanya.
“Loh,
Ray, kamu ngapain?” tanya Laura ketika pria itu menggesekkan kartunya ke mesin
DDR itu.
“Ayo
Ra.” Kata Rainer yang mulai memilih level
dance.
“Ha?”
Laura hanya menatap Rainer heran. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara memainkan
permainan itu. Dia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri!
“Udah
gak usah takut, bisa kok, bisa.” Kata Rainer saat melihat Laura yang bingung.
Rainer
lalu menarik Laura berdiri di atas pijakan kaki dan memulai permainan. Level yang dipilih oleh Rainer tadi
adalah easy. Lagu pengiring pun sudah
mulai berbunyi, dan tanda panah mulai bermunculan di layar di depan mereka.
Mereka
lalu mulai menginjakkan kaki mereka di pijakan dan menyesuaikannya dengan tanda
yang ada di layar. Laura mulai menikmati permainan ini dan bersemangat
menyesuaikan pijakannya dengan tanda di layar.
Beberapa
menit kemudian permainan pun berhenti dan menunjukkan bahwa Laura menang dari
Rainer. Laura yang sedikit kelelahan pun merasa senang dan tertawa dengan
bebas. Rainer hanya meringis melihat Laura dan ikut tertawa tak lama kemudian.
Tanpa
sadar, sejenak Laura lupa akan masalahnya.
***
“Makasih
ya Ray, udah ngajakin aku jalan.” Kata Laura setelah mereka sampai di depan
rumahnya.
“Iya
Ra, sama-sama.” Jawab Rainer.
Laura
kemudian memberikan helm Rainer yang tadi dipakainya. Pria itu mengambil helm
itu dan memakainya.
“Yaudah
sana masuk.” Kata pria itu kemudian.
“Kamu
pergi dulu.” Tolak Laura, ia masih merasa takut untuk masuk ke rumahnya.
“Kamu
masuk dulu Ra. Aku harus mastiin kamu masuk ke rumah dengan selamat.” Kata pria
itu lagi.
“Oke.”
Laura sudah tidak punya pilihan lain.
Akhirnya
Laura pun membuka pintu gerbangnya dan menutupnya kembali. Tak lama setelah
itu, terdengar suara deru mesin motor yang mulai menginggalkan kompleks
perumahannya. Laura masih menunggu pria itu pergi, berusaha mengulur aktu
selama mungkin untuk masuk ke rumah.
“Laura?”
Panggil seseorang di belakangnya.
Laura
pun kaget dan menengok ke belakangnya. Dia melihat sang ayah berdiri dengan
menggunakan kaus santainya seperti hari-hari biasa.
“Ayah?”
kata Laura sebelum kemudian mencium tangan ayahnya.
Ayah
Laura pun hanya mengangguk dan berjalan memasuki rumah, menginggalkan Laura di
belakang dengan perasaan kalut. Laura lalu mengikuti ayahnya ke dalam rumah.
Sesaat setelah menutup pintu rumah, ayahnya mulai berbicara kepadanya.
“Ayah
udah lihat, seni rupa UI sepertinya bagus.” Kata ayahnya sambil duduk di sofa
ruang tamu.
Apa
ini? Laura merasa dia salah mendengar ucapan ayahnya barusan. Benarkah pria itu
membicarakan soal jurusan yang diinginkannya?
“Gimana
Yah?”
“iya,
jurusan seni rupa, Ayah lebih suka kamu di UI Ra, biar Ayah bisa anter jemput
kamu.” kata ayahnya sekali lagi.
“Ayah.”
Panggil Laura dengan mata berkaca-kaca.
Laura
menatap ayahnya yang kini menatapnya dengan lembut. Dia tidak menyangka ayahnya
yang selama ini dia kenal keras dengan keputusannya, bisa mengizinkannya
melanjutkan pendidikan di jurusan yang tidak ada dalam daftar favoritnya.
Laura
lalu berjalan menuju sofa dan memeluk ayahnya. Laura menumpahkan semua air
matanya, lega. Bukan hanya karena mendapat restu orangtuanya untuk kuliah di
jurusan impiannya, tapi juga karena hubungannya dengan orangtuanya sudah
membaik kembali.
“Maafin
Ayah dan Bunda yang selama ini egois ya nak. Kami gak pernah memikirkan
perasaan kamu.” Kata bunda Laura yang sejak tadi memperhatikan mereka dari
dapur.
“Gak,
Ayah dan Bunda gak salah. Laura yang salah karena gak berani jujur.” Jawab
Laura sambil menangis.
Dia
merasa bersyukur sekali dengan kejadian hari ini. Baginya, hari ini adalah
salah satu hari terbaik dalam hidupnya.
“Tapi
kenapa Ayah dan Bunda berubah pikiran?” tanya Laura penasaran.
“Sebenarnya
tadi-”
“Loh, Sandra? Killa? Lauranya gak di rumah.”
Kata ayah Laura saat melihat kedua sahabat putrinya ada di depan rumahnya.
“Iya, kita tau
kok om.” Jawab Killa setelah dia dan Sandra salim kepada ayah Laura.
“Kita ke sini
mau bicara sama om dan tante mengenai Laura.” Ucap Sandra sopan.
ayah Laura pun
mengajak mereka berdua masuk dan memanggil istrinya turun ke ruang tamu. Mereka
pun lalu duduk dan mulai berbicara.
“Apa ini?” kata
ayah Laura melihat semua piala dan sertifikat penghargaan yang dikeluarkan oleh
Killa.
Semua nama yang
tertera di sana adalah Laura Anggita, putrinya. Ibu Laura lalu mengambil salah
satu sertifikat penghargaan yang ada di depannnya dan membacanya. Matanya mulai
berkaca-kaca saat selesai membaca isi dari sertifikat itu.
“Om, Tante,
semua ini punya Laura setelah mengikuti berbagai kompetisi melukis.” Kata
Sandra.
“Laura tidak
pernah bilang ke om dan tante, karena dia takut membuat kalian berdua kecewa.
Dia tahu kalau kalian sangat berharap kalu Laura bisa masuk jurusan
kedokteran.” Lanjut Killa menjelaskan.
“Jadi selama
ini, setiap dia mendapat penghargaan, dia selalu menitipkannya ke sekolah.
Laura juga melarang guru-guru kami untuk memberitahukan prestasinya kepada
kalian.”
“Dia sangat
suka melukis. Saat sedang melukis, dia terlihat mencintai apa yang dia
lakukan.”
“Kami harap
kalian bisa mendengarkan kemauannya kali ini. Karena kami tahu kalian pun
sangat menyayangi Laura.” Ucap Sandra setelah merasa kedua orang tua Laura
mulai luluh.
“Kamu
punya teman-teman yang baik nak.” Kata ayah Laura.
“Laura
beruntung punya mereka yah, bun.” Kata Laura sambil terus mengucap syukur
kepada Tuhan.
‘Terima kasih,
telah mengirimkan sahabat seperti mereka.’
TBC
Extra Part
“Gue
ada ide.” Kata Sandra tersenyum.
“Hah?
Apa-apa?” Tanya Killa yang penasaran dengan rencana Sandra.
“Jadi,
kita bawa aja semua piala Laura ke rumahnya.”
“Lah,
buat apa?”
“Ya
biar orangtua Laura itu ngedukung Laura lah. Kita harus bisa ngeyakinin mereka
kalau pilihan Laura itu gak salah.” Kata Sandra yakin.
***
“Can,
lo yakin nih kita gak bakal ketahuan?” Tanya Killa yang takut aksi mereka ini
akan dipergoki oleh petugas sekolah.
Sebenarnya
tadi siang dia dan Sandra sudah menemui Pak Sutrisno untuk meminjam sebentar
piala serta sertifikat penghargaan Laura. Namun, guru mereka tersebut tidak
mengizinkannya. Karena itulah mereka nekat untuk mencuri semua piala dan
sertifikat Laura lalu mengembalikannya sebelum para petugas menyadarinya.
“Udah,
percaya sama gue.”
“Gue
ga mau masuk BK anjir.” Kata Killa yang masih ketakutan.
“Seumur
hidup, nama gue belom pernah tercatat di daftar hitam BK.” Katanya lagi.
Tercatat
di daftar hitam BK adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya di masa-masa
sekolahnya. Dia tidak ingin mencari masalah. Bisa-bisa orang tuanya marah
besar, jika mengetahui kejadian saat ini.
“Gue
ga mau ini jadi kali pertama gue! Amit-amit!” Keringat bercucuran di dahinya,
matanya tidak berhenti menatap sekitar untuk memastikan tidak ada siapapun yang
datang.
“Lo
bisa diem ga?” Kata Sandra yang sebal dengan Killa yang sedari tadi terus saja
berisik.
Dia
sedang berusaha meraih piala yang berada di lemari kaca yang tingginya lebih
dari 2 meter itu. Tingginya hanya 160 cm, walaupun sudah menggunakan bantuan
kursi untuk mencapai piala itu, ia masih belum bisa mencapainya. Akhirnya, ia
pun berjinjit dan merentangkan tangannya untuk meraih piala itu. Setelah
perjuangan tadi, akhirnya tangannya bisa meraih piala itu.
“Udah,
ni pegangin dulu.” Kata Sandra sambil menyerahkan piala itu kepada Killa.
Killa
pun langsung menerima piala itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Ia sengaja
menaruh buku-bukunya di dalam loker, sehingga tasnya bisa diisi piala-piala
Laura.
“Sip,
aman.” Kata Sandra setelah turun dari kursi dan meletakkannya di tempat semula.
Mereka
pun keluar melalui jendela ruang kepala sekolah yang memang tidak pernah
dikunci. Saat ini daerah sekolah mereka sedang ada pemadaman listrik, jadi cctv
sekolah tidak berfungsi.
“Yuk.”
Ajak Killa saat mereka berdua sudah di lorong.
“Loh,
kalian belum balik?” tanya seseorang dari belakang saat mereka berdua akan berjalan pergi.
Mereka
berdua kaget dan saling memandang satu sama lain. Bahaya kalau sampai aksi
mereka ini ketahuan. Mereka pun berbalik dan melihat orang yang menegur mereka.
“Rainer?!”
“Sumpah
ya, lo tuh ngagetin banget tau gak!” kata Killa yang panik.
Sandra
dan Killa pun menghembuskan nafas lega karena ternyata orang yang menegur
mereka adalah Rainer. Setidaknya pria itu tidak akan melaporkan mereka ke guru
BK. Apalagi pria itu adalah pacar Laura.
“Kalian
ngapain?” tanya Rainer yang heran dengan keberadaan Sandra dan Killa di depan
ruangan kepala sekolah.
“Bukan
urusan lo!” Jawab Killa sengit.
Matanya
menyipit tanda peringatan agar Rainer tidak mencampuri urusan mereka. Sandra
pun menyikut pelan lengan Killa yang dibalas dengan tatapan bingung.
“Ray,
gue boleh minta tolong?” tanya Sandra.
“Minta
tolong apa San?”
“Tolong
temenin Laura bisa? Pastiin dia ga sampe di rumah sebelum jam 6.” Kata Sandra.
Setidaknya
mereka butuh waktu satu jam untuk meyakinkan kedua orangtua Laura, belum lagi
waktu perjalanan ke rumah Laura. Sedangkan saat ini sudah hampir jam setengah
empat.
“Kenapa emangnya?” tanya Rainer yang kebingungan dengan rencana kedua sahabat pacarnya itu.
“Plis deh, gak usah banyak tanya! Lo mau nolongin Laura gak?” desak Killa dengan wajah garangnya.
Komentar
Posting Komentar