IV. Impian
“Guys,
apa sih impian kalian?”
“Impian?”
“Iya
impian.”
Sejenak
Laura tertegun mendengar pertanyaan Killa barusan. Ia tidak menyangka
pertanyaan seperti itu akan muncul saat ia tengah fokus dengan pelajaran
matematika yang rumit.
“Psikolog.”
Jawab Sandra
“Kenapa?”
Tanya Killa penasaran akan alasan dari Sandra. Setahunya Sandra tidak suka ikut
campur dengan kehidup orang lain, cara bicaranya pun lebih sering terdengar
sinis dibanding ramah.
“Prospek
ke depannya bagus, sekarang makin banyak orang-orang stress di Indonesia.”
“Lah,
emang ada yang mau konsultasi sama lo? Yang ada kabur duluan gara-gara takut
ngeliat muka lo yang galak.”
“Suka-suka
gue dong.”
“Terserah
lo deh.” Kemudian pandangannya tertuju kepada Laura yang terlihat melamun.
“Kalau
Laura?”
“Ha?”
Laura terlihat bingung dengan pertanyaan Killa.
“Impian
kamu Ra.”
“Dokter dong.”
Itulah
jawaban yang biasanya akan dia ucapkan saat mendapat pertanyaan mengenai impian.
Kini, ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebenarnya pertanyaan itu sangatlah
sederhana, namun lidahnya terlalu kelu untuk menyuarakan jawaban yang ada di
kepalanya.
“Ga
tahu.”
Kemudian
Laura teringat tentang masa lalunya, saat dimana ia pertama kali mendapat
pertanyaan tentang impian.
“Laura, impian
kamu jadi apa?”
“Dokter,
bunda.”
“Wah, hebat
anak bunda mau jadi dokter.”
“Iya dong bun,
anaknya ayah.”
Laura
adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia mempunyai dua adik kembar saat
usianya baru lima tahun, membuat orang tuanya fokus mengurus Bayi mereka dan
tanpa sadar mengabaikan laura yang masih membutuhkan perhatian. Di usia semuda
itu, Laura dipaksa menjadi dewasa dan menekan egonya demi adik-adiknya.
Kala
itu Laura melihat raut bahagia yang terpancar dari kedua orang tuanya. Mereka
berdua melihat Laura dengan tatapan bangga dan seakan menaruh harapan yang
tinggi dari jawaban Laura. Yang ada di pikirannya saat itu adalah ia tidak
boleh mengecewakan orang tuanya. Jadi, saat mendapati reaksi kedua orang tuanya
saat itu, ia bertekad akan menjadi dokter. Ia harus menjadi putri kebanggagan
orang tuanya.
Namun
seiring berjalannya waktu, ia mulai jatuh cinta kepada lukisan. Paduan warna di
atas kanvas yang menghasilkan jutaan perasaan
berbeda di setiap sapuannya, membuat dia seakan berada pada dunianya
sendiri. Pada saat itu ia merasa telah menemukan sebagian dirinya yang hilang.
Namun,
saat ingin mengungkapkan keinginannya itu, ia bingung, ia takut, takut ditinggalkan. Jadi yang bisa dilakukannya
hanyalah memendam semua impiannya itu di dalam hati. Ia harus menjadi anak
baik.
Lalu
kini, saat teman-temannya bertanya tentang impian, kenapa ia bingung? kenapa ia
ragu? Laura merenung di sepanjang perjalanan pulang.
***
“Ra,
ada masalah?” Tanya Sandra saat melihat sahabatnya itu.
“Iya,
dari kemarin kamu kayak ga semangat gitu.” Killa menambahkan.
Sejujurnya
Laura merasa pertanyaan Killa sangat mengganggu konsentrasinya sejak kemarin.
Ia dilema, apakah ia harus menceritakan kegelisahan hatinya pada mereka?
“aku
gapapa kok.” Jawab Laura akhirrnya.
“Ra,
kalo ada masalah ceritain aja ke kita, siapa tahu kita bisa bantu lo.” Kata
Sandra mencoba meyakinkan sahabatnya yang kelihatannya sedang banyak pikiran.
“Iya,
pasti aku cerita kok.” Belum sempat sahabatnya membalasnya, ia langsung
mengalihkan pembicaraan mereka.
“Aku
ke toilet sebentar ya.”
***
Saat
menuju toilet, Laura melihat dua poster yang baru hari ini terpasang di mading
sekolah. Poster itu berisi pengumuman mengenai kompetisi science project dan kompetisi melukis. Ia tidak tertarik untuk
mengikuti kompetisi science project itu, namun mungkin Sandra akan tertarik. Ia
harus memberi tahu sahabatnya itu.
Lalu
pandangannya bergeser ke poster kompetisi melukis. Ia ingin mengikuti kompetisi
itu, namun fokusnya akan terpecah kalau memaksakan ikut. Apalagi sebentar lagi
akan ada UTS. Pasti orang tuanya tidak akan mengizinkannya.
“Revanno?” Panggil Laura saat ia melihat Revanno ada di
sampingnya. Laura tidak menyadari kedatangannya. Saat itu jam sekolah sudah
dimulai, jadi para siswa sedang berada di kelasnya masing-masing untuk kegiatan
belajar-mengajar. Lalu kenapa Revanno ada di sini?
“Kamu
tertarik sama lukisan juga?” Tanya Laura saat melihat pandanggan Revanno yang
tertuju pada poster yang tadi ia lihat.
Ia
melihat Revanno menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaanya.
“Terus?”
Tanya Laura yang kebingungan.
Revanno
menunjuk ke arah poster yang satunya, dimana poster itu berisi mengenai
kompetisi science project.
“Oh,
Science project.”
“Pemenangnya
bakal dapat beasiswa dari UI.” Kata Revanno
“Science project?” Kalau begitu Laura
harus memberi tahu Sandra, dia pasti akan senang mendengar berita ini.
“Dua-duanya.
Tertarik buat ikut?”
“Aku
ga ada ide mau bikin apa buat SP. Heheh.” Sebenarnya ia hanya tidak tertarik
untuk mengikuti kompetisi yang menguras otak dan pikiran itu.
“Maksud
gue lukisan.”
“Oh,
...” Laura lagi-lagi tertegun oleh perkataan Revanno. Dari mana cowok itu bisa
tahu kalau ia tertarik dengan kompetisi melukis itu?
“Kenapa
ragu?”
***
“Eh,
calon dokternya bunda udah pulang.” Kata bundanya saat Laura sampai di rumah.
“Assalamualaikum
bunda.” Ucap Laura sambil mencium tangan bundanya.
“Waalaikumsalam
sayang. Ditunggu ayah tuh kamu.” Kata bunda dengan pandangan yang mengarah ke
ruang tamu.
DI
sana terlihat ayahnya yang sedang menonton berita di salah satu saluran
televisi. Laura lalu menuju ke ruang tamu untuk menemui ayahnya. Ia mengucapkan
salam dan mencium tangan ayahnya.
“Laura,
ayah udah dapat tentor baru untuk kamu. Dia mahasiswa kedokteran UI. Kamu bisa
mulai belajar besok sepulang sekolah.” Kata ayahnya saat itu.
“Iya
ayah.” Kata Laura.
Lalu
ia kembali teringat tentang pembahasan dengan sahabatnya mengenai impian,
terlebih dengan kejadian di mading siang tadi. Ia bingung, apakah ia harus
membicarakan lagi mengenai impiannya kepada kedua orang tuanya?
“Ayah,
bunda, ak-“
“Kenapa
sayang?” Tanya bundanya yang tengah membawa kopi untuk ayahnya.
“Gapapa
kok, Laura ke atas dulu.” Laura mengurungkan niatnya dan pergi ke kamarnya yang
ada di lantai dua.
Hatinya
terus meronta, ia tidak bisa terus
berpura-pura di depan orang tuanya, terlebih lagi, ia merasa sudah tidak bisa
lagi memendam kecintaannya pada lukisan. Tapi ia tidak sanggup bila harus
melihat raut kecewa kedua orang tuanya.
Setelah
satu jam berpikir, Laura akhirnya kembali ke ruang tamu. Ia sudah bertekad
untuk membiarkan kedua orang tuanya tahu mengenai impiannya. Lagipula ini
hidupnya bukan, dia yang akan menjalaninya sendiri.
“Ayah,
bunda, Laura mau bicara.”
“Ada
apa Laura?”
“Laura
ga mau jadi dokter.”
“Gimana
nak?”
“Laura
mau kuliah jurusan seni.”
“GAK
BOLEH!”
“Kenapa
yah?”
“Pokoknya
kamu ga boleh kuliah di jurusan seni. Mau jadi apa kamu nanti kalau udah lulus?
Kamu itu anak pertama Laura! Kamu yang harusnya bisa jadi contoh untuk
adik-adikmu!”
“Gue cuma mau
bilang kalo mengutarakan apa yang lo rasain itu bukan tindakan kriminal.”
Tiba-tiba
ia teringat kalimat yang diucapkan Revanno waktu itu. Namun, jika saat itu dia
berpikir bahwa tidak ada yang salah dengan memendam perasaannya, kini ia
berpikir sebaliknya. Apa salah jika dia tidak ingin menjadi dokter? Apa salah
jika ia hanya ingin mengikuti kata hatinya? Apa salah jika ia tidak ingin
dikekang?
“Apa
Laura ga boleh mengejar mimpi Laura yah? Kenapa harus Laura yang selalu
berkorban?”
“Laura!”
“Dari
dulu, perhatian ayah sama bunda selalu buat Rena, Reon dan pekerjaan kalian,
Kalian ga pernah ada buat Laura.”
“Bahkan
kalian berdua ga hadir setiap pembagian rapor karena kalian sibuk dengan
pekerjaan kalian atau karena Rena dan Reon rewel.”
“Kalian
bahkan ga pernah maksa Rena dan Reon untuk belajar, untuk menjadi apa yang
kalian mau. Kalian selalu membiarkan mereka melakukan apa yang mereka suka.
Sedangkan aku? Kalian selalu memaksa aku menjadi apa yang kalian inginkan. Dan
sekarang, saat aku ingin mengejar mimpi aku, kalian melarang aku dengan alasan
aku harus jadi contoh untuk adik-adikku?”
“Kenapa
harus aku yang selalu ngalah yah? Bun? Aku gak pernah minta dilahirkan sebagai
anak pertama!”
Girls’
World Domination(3)
Laura
Anggita
19.30
Guys, aku butuh kalian.
Sandra_Nath 19.30
Dimana?
Laura
Anggita
19.30
Depan gerbang komplek.
Sandra_Nath 19.30
Otw
Akhirnya
setelah beberapa menit menunggu, Sandra pun datang menghampirinya. Sandra masih
menggunakan baju piyama bergamar hello kitty yang merupakan hadiah dari Laura
dan Killa saat ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Laura merasa bersalah
menghubungi teman-temannya. Seharusnya saat ini Sandra sudah bergelung nyaman
di kasurnya, tetapi ia malah harus menghampirinya ke taman malam-malam begini.
“Kalau
mau nangis, nangis aja Ra.” Kata Sandra setelah duduk di sampingnya.
“Killa
ga dateng?” Kata Laura bingung mencari keberadaan Killa. Biasanya sahabatnya
yang satu itu akan langsung datang dan heboh sendiri.
“Killa
pergi ke rumah neneknya dari pas pulang
sekolah.”
“Oh.”
Ia lupa jika hari ini Killa mendapat kabar bahwa neneknya sakit dan orang
tuanya sudah berada di rumah neneknya, jadi ia langsung menyusul ke rumah
neneknya sepulang sekolah.
“Gue
tau gue ga bisa maksa lo untuk cerita, tapi kalau itu bisa bikin lo tenang?
Jangan terlalu lama mendam semuanya sendirian Ra, lo punya gue, punya Killa,
kita berdua sayang sama lo.” Kata Sandra yang langsung membuat tetesan air mata
jatuh dari sudut matanya.
Laura
lalu menceritakan semuanya kepada Sandra. Tentang impiannya juga respon kedua
orang tuanya saat dia mengutarakan mimpinya. Di sepanjang ceritanya, Sandra
hanya mendengarnya dan terkadang mengusap punggungnya tanpa berkomentar apapun.
“Makasih
ya San udah dengerin curhatan aku. Maaf aku ngerepotin kamu, sampai kamu keluar
malem-malem gini.”
“Gapapa,
yang penting perasaan lo udah lebih tenang sekarang.” Kata Sandra sambil
tersenyum menatap langit.
Laura
baru sadar kalau ada banyak sekali bintang di langit malam ini. Hal yang jarang
terjadi di kota-kota besar sebenarnya, mengingat polusi yang semakin
mengkhawatirkan. Kemudian ia teringat, ia harus segera pulang karena sudah 3
jam sejak ia pergi ke taman ini. Apa orangtuanya masih menunggunya di rumah?
Apa mereka sedang mencarinya? Atau malah mereka sudah tertidur?
“iya,”
“Udah
malem, ortu lo juga pasti udah tidur. Nginep di rumah gue aja yuk.” Ajak Sandra
yang dengan cepat membuat Laura menoleh ke arahnya.
“Gapapa
San?”
“Kayak
baru pertama kali nginep aja lo.” Jawab Sandra.
Mereka
memang sudah sering menginap di rumah satu sama lain. Hingga orang tua mereka
sudah terbiasa dengan kebisingan yang hadir setiap kali mereka menginap. Lebih
tepatnya kebisingan Killa saat sedang bercerita yang suaranya terdengar hingga
ke ujung komplek.
“Tapi
kali ini kan mendadak San.”
“Santai.”
***
“Holla
guys!”
“Killa?”
“Huhuhu
sedih, gue baru bisa balik besok, jadi ga bisa kan ikut nginep bareng kalian.”
“Tapi
gapapa, karena kita masih bisa video call. Terima kasih teknologi.”
Malam
itu mereka video call karena Killa
yang sebenarnya ingin ikut menginap, tapi terhalang oleh jarak. Killa langsung heboh begitu menceritakan
semua yang dia alami ketika berada di rumah neneknya.
“Pokoknya
kalian gak boleh matiin video call ini ya. Mau ngantuk kek, apa kek, pokoknya
kalian harus dengerin gue!”
Entah
kemana perginya rasa sedih yang ia rasakan tadi, bersama sahabat-sahabatnya dia
merasa dapat menghadapi semua masalah yang ada. Ia merasa beruntung mempunyai
sahabat seperti Sandra dan Killa.
Dulu
Laura selalu berpikir, kenapa Tuhan sejahat itu kepadanya. Rasanya tidak adil
jika dirinya yang harus selalu berkorban dan kesepian selama ini. Lalu kini,
Laura sadar bahwa persahabatan yang ia jalani saat ini adalah salah satu
anugerah yang Tuhan berikan untuk dirinya.
TBC
Komentar
Posting Komentar