III. Bertemu Rainer
"Ra, dicariin Rainer tuh." Kata Sandra.
Rainer
dan Laura memang berpacaran sejak minggu lalu, dimana Rainer menyatakan
perasaannya di depan kelas XI IPA 2 sambil bernyanyi diiringi oleh siswa ekskul
padus di sekolah mereka. Laura menerimanya tentu saja, dia tidak ingin mempermalukan
ketua OSIS-nya itu di depan siswa-siswi lainnya.
“Oh,”
Laura pun berjalan ke depan pintu kelas XI IPA 2, dimana pacarnya sedang
menunggu dengan bersandar di tembok.
“Ada
apa Ray ke kelas aku?” tanya Laura yang langsung membuat Rainer menegakkan punggungnya.
“Nanti
pas jam istirahat pertama kita ke kantin bareng ya Ra,”
“Maaf
Ray, aku ke kantin bareng Killa sama Sandra.”
“Kalau
istirahat kedua gimana Ra?” Tanya Rainer masih berusaha mencari kesempatan
untuk bisa berduaan dengan Laura.
“Istirahat
kedua aku mau ngerjain tugas buat besok, soalnya pulang sekolah mau jalan
bareng Killa sama Sandra. Maaf ya Ray.” Jawab Laura yang membuat raut wajah
Rainer mulai lesu.
“Oh,
gitu. Yaudah gapapa kok. Kalau gitu, aku balik ke kelas dulu ya.”
“Oke,”
sebenarnya Laura kasihan dengan pacarnya itu, tapi mau bagaimana lagi?
Sahabat-sahabatnya jauh lebih penting daripada Rainer.
Sebenarnya
Laura menerima Rainer bukan karena mencintainya, begitupun dengan para
mantannya yang terdahulu. Hingga saat ini, dia belum menemukan seseorang yang
mampu membuat jantungnya berdebar kencang seperti yang ada di dalam
cerita-cerita romansa yang dia baca.
“Kenapa
Ra?” Tanya Killa diikuti anggukan dari
Sandra yang penasaran dengan percakapan antara Laura dan Rainer sampai-sampai
ketua OSIS mereka kembali ke kelasnya dengan tidak semangat begitu.
“Gapapa
kok San, Kil.”
“Serius
nih?”
“iya,
udah”
“Nanti
sore kita jadi jalan kan Ra? Can? Udah kangen berat nih gue sama Mcflurry-nya Mcd.” Kata Killa sambil memikirkan menu yang akan dia pesan di
restoran cepat saji itu.
“Makan
terus pikiran lo, inget tujuan kita ke BP
tuh mau cari buku di gramed.”
“Ya
kan sekalian makan dong, lo mau gue kelaperan terus mati kalo ga makan?”
“Iya
iya, jadi kok.” Jawab Laura mantap. Ya, sahabatnya akan selalu lebih penting
daripada cowok, isn’t it?
***
“Kayaknya yang ini bagus deh San.” Kata Laura
sambil memegang buku terbitan tahun lalu yang ada di rak best seller itu.
“Tapi
bukannya itu tahun lalu ya Ra? Kenapa gak yang ini aja?” Sandra memilih buku
yang diterbitkan tahun ini dengan pertimbangan bahwa soal-soal tahun lalu akan
berbeda dengan soal yang keluar tahun ini.
“Loh,
tapi yang kemarin direkomendasiin Bu Sari kan yang ini.”
“Iya,
tapi kan tipe soal tahun ini beda dari tahun lalu Ra.”
“Tapi-“
Perdebatan
itu kemudian dihentikan oleh Killa yang merasa bahwa keduanya terlalu lama
memilih buku mana yang akan dibeli. Padahal menurutnya akan sama saja inti dari
soal-soal yang ditulis disana, meskipun pasti ada detail yang berbeda.
“Lo
berdua apa-apaan si? Milih buku aja ribet banget udah kayak milih pasangan
hidup, heran gue.”
“Ini
kita lagi milih yang terbaik tau.” Jawab Laura
“Buat
apa milih yang terbaik? Kalau ternyata dia bukan tercipta untuk kita?” Kata
Killa yang langsung dijawab dengusan oleh Sandra.
“Ye,
bisa ae nih manusia satu.”
“Udah
yang mana ajalah, perut gue udah laper nih gece.”
“Yaudah,
yang itu aja deh San, bener juga kata kamu kalau soal tahun ini bakal beda dari
tahun lalu.” Kata Laura mengiyakan pendapat Sandra tadi.
“Fix
nih ya” Tanya Sandra
“Iya”
“Iya” jawab mereka berdua.
Mereka
pun menuju ke kasir dan terlihat ada dua orang yang sedang mengantri untuk
membayar.
“Buset
dah antrinya banyak bener ya.”
Itu
berarti mereka ada di urutan ketiga untuk membayar buku-buku yang mereka
perlukan tadi, sedangkan Killa sepertinya sudah terlalu lapar untuk bisa
bersabar menunggu giliran mereka.
“Dua
doang itu, bentar lagi juga giliran kita. Sabar dong.”
“Yaudah,
kalian duluan aja, nanti aku nyusul.” Kata Laura kasihan melihat Killa yang
sudah kelaparan sejak tadi.
“Tapi
Ra-“
“Beneran
nih Ra? Lo gapapa sendiri?” Jawab Killa yang tiba-tiba merasa bersemangat.
“Iya,
lagian tinggal dikit ini antriannya. Eh pesenin sekalian ya Kil.”
“Oke,
yang biasa kan?”
“Iya”
“Sip,
bye Raaa.”
Laura
pun hanya tersenyum dan mengangguk kepada Sandra dan Killa sebelum mereka
berlalu ke Mcd.
Antrian
di depannya sudah mulai bergerak, berarti tinggal menunggu satu orang di
depannya untuk membayar, lalu ia bisa membayar buku-buku yang ada di
keranjangnya dan menyusul Sandra dan Killa. Sambil menunggu, ia melihat ke
sekitar. Tak lama kemudian, ia menemukan
seseorang yang ia kenal sedang berjalan ke arahnya untuk mengantri
“Revanno?”
Panggil Laura
“Temannya
Sandra?” Jawab Revanno datar hingga membuat Laura kesal dengan jawabannya.
‘What? Temennya
Sandra?’
Katanya dalam hati kesal dipanggil seperti itu.
“Aku
Laura.”
“Oh.”
“Beli
buku buat UN juga ya?” Tanya Laura berusaha untuk memulai obrolan.
“Bukan.”
“Lah,
terus itu buku apa?”
“UTBK.”
“Oh,
kirain buat UN, habisnya sampulnya hampir mirip.”
Antrian
di depannya pun sudah selesai membayar. Namun, saat ia hendak maju untuk
membayar, tiba-tiba saja ada seseorang yang menyerobot antriannya.
“Loh,
ngantri dong mas, jangan nyerobot antrian orang.” Kata Revanno membela Laura
yang hanya terdiam
“Loh,
saya kira mas sama mbaknya masih mau ngobrol.” Jawab orang itu dengan
menyebalkan.
“Udah
Van, ga usah dipermasalahin. Silahkan duluan aja mas, gapapa.” Kata Laura
mencoba menghentikan permasalahan itu dan mempersilahkan orang tersebut untuk
membayar.
“Udah,
aku ga mau terlibat masalah yang gak penting Vanno.”
“Terserah
lo deh.”
Akhirnya
Revanno pun mengalah dan menunggu giliran dengan perasaan kesal.
Setelah
orang tersebut selesai Laura pun segera maju untuk membayar.
“Totalnya
jadi lima ratus enam puluh lima ribu tujuh ratus rupiah mbak.”
Laura
pun mengeluarkan dompetnya dan membayar total dari buku tersebut. Ternyata uang
yang ada di dompetnya tersisa lima ratus enam puluh ribu rupiah saja, itu pun
yang sepuluh ribu berupa uang dua ribuan.
‘Lah, gimana
dong nih, mana lupa bawa kartu ATM lagi.’
‘Weh gimana
nih, gimanaaaaaa.’
“Sebentar
ya mbak.” Kata Laura sambil berusaha agar tidak panik dan menghubungi sahabatnya.
Revanno
yang melihat hal itu pun langsung menyodorkan bukunya untuk di hitung sekalian
dengan buku yang dibeli oleh Laura.
“Sekalian
sama yang ini ya mbak,”
“Totalnya
jadi delapan ratus ribu rupiah mas.” Revanno pun membayar dengan kartu atmnya,
sementara Laura hanya terdiam melihat ke arahnya.
“Terima
kasih” Kata petugas kasir itu yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Revanno
kemudian berjalan keluar dari toko buku tersebut.
Akhirnya
Laura tersadar dengan kejadian barusan dan menyusul Revanno, kemudian
memberikan semua uangnya tadi.
“Masih
kurang lima ribu tujuh ratus, besok di sekolah aku kembaliin. Makasih ya Van.”
Kata Laura
“Sama-sama.”
Kata Revanno sambil menerima uang itu.
“Aku
ga tahu harus gimana tadi kalo kamu ga bantuin aku.”
“Ga
masalah.”
Kemudian
saat baru keluar dari toko buku, Laura melihat Rainer yang juga baru keluar
dari toko aksesoris bersama seorang perempuan yang kira-kira seumuran dengan
mereka.
Dia
tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Apa dia harus menghampiri Rainer dan
mempertanyakan siapa perempuan itu? Atau dia langsung pergi saja untuk
menghindari masalah?
“Pacar
lo?” Tanya Revanno
“Iya.”
“Terus?”
“Apa?”
“Ga
mau lo samperin?”
“Ga
usah, aku gapapa kok.” Kata Laura mencoba untuk terlihat baik-baik saja.
Kenyataannya,
walaupun ia tidak mencintai Rainer, tetapi jujur ia merasa tersakiti dengan apa
yang ia lihat saat ini. Ia merasa dikhianati.
“Lo
emang selalu kayak gitu ya?”
“Kayak
‘gitu’ gimana maksudnya?” Tanya Laura bingung dengan maksud dari perkataan
cowok itu.
“Selalu
berpura-pura semuanya baik-baik aja, seolah nothing
happens.”
“Aku
cuma gak mau terlibat masalah Vanno.”
Ya,
memang selalu begitu. Memang selalu Laura yang mengalah di setiap perdebatan,
di setiap keadaan. Ia hanya tidak ingin terlibat dan berusaha menghindari
masalah. Apa itu salah?
“Terserah
lo deh, gue cuma mau bilang kalo mengutarakan apa yang lo rasain itu bukan
tindakan kriminal. Gue balik dulu.” Kata Revanno meninggalkan Laura yang
tertegun mendengar perkataannya barusan.
TBC
Komentar
Posting Komentar